Di era sepuluh tahun lalu atau pada masa Pemerintahan Kabupaten Pati oleh Bupati H Tasiman (alm), daerah ini pernah mempunyai Peraturan Daerah (Perda) No:5 Tahun 2011 tentang Rencata Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang boleh dibilang tak pernah jelas bagaimana implementasinya, terutama untuk kawasan wilayah Kecamatan Margorejo.
Akan tetapi paling tidak perda tersebut bisa tampil sebagai macan kertas, karena berhasil mencegah berkembangnya hiburan baik siang maupun malam. Masing-masing adalah tempat kafe dan karaoke yang menjamur di wilayah tersebut, karena Margorejo dan sekitarnya peruntukannya memang bukan sebagai pusat hiburan, sehingga keberadaan tempat pelacuran seperti Lorong Indah (LI) yang sudah ada terlebih dahulu (1999) tentu harus menyesuaikan.
Demikian pula tempat hiburan atau tempat pelacuran lainnya, seperti Kampung Baru (KB) dan yang lainnya juga harus menyesuaikan. Sebab, sesuai perda tersebut yang diubah dengan Perda No 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Perda No 5 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Pati Tahun 2010-2030, maka untuk mencapai batas angka tahun tersebut masih ada rentang waktu selama 9 tahun.
Karena itu, jika dalam kurun waktu tersebut kawasan wilayah Kecamatan Margorejo tidak bisa dijadikan sebagai kawasan hijau hal itu tentu sama saja perda tersebut sebagai produk hukum yang gagal. Sebab, sejak perda itu didok dan ditetapkan di Tahun 2011, kemudian sepuluh tahun dilakukan perubahan tapi kondisi kawasan Margorejo belum juga mampu berubah benar-benar menjadi kawasan hijau.
Dengan kata lain, hal mencolok yang masih tampak cukup monumental adalah sisa peninggalan bekas tempat pelacuran LI dan Kampung Baru. Sehingga menjadi hal yang sangat delematis, karena keberadaan warung remang-remang di lokasi itu adalah berdiri di atas tanah hak milik, sehingga tentu para pemiliknya bersedia memindahkan dengan syarat harus ada ganti untungnya, karena bekas lokasinya harus difungsikan sebagai lahan hijau.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa para pemilik warung remang -remang di kompleks itu, tetap tidak bersedia meninggalkan lokasi itu. Apalagi, jika kegiatan usahanya merasa sudah ditutup oleh pemerintah, sehingga bisa saja memunculkan kesepakatan sepihak di antara mereka akan membiarkannya sampai roboh sendiri.
Atau jika boleh dibilang kondisi ekstremnya, mereka akan terus menunggu selesainya upaya penjagaan oleh aparat sehingga hal itu akan menjadi delamatis, karena untuk mencipatkan kawasan tersebut sebagai daerah hijau, ternyata tidak semudah yang digambarkan. Apalagi, jika di kasawan itu sekarang juga sudah berdiri sejumlah bangunan memang sebagai tempat jasa hiburan.
Mengingat kondisi yang terjadi selama ini, maka berbagai permasalahan sosial yang timbul upaya penyelesaiannya memang paling mudah kalau hanya diteorikan. Sehingga hal terjelek, adalah Perda No 5 Tahun 2011 yang sudah diubah menjadi Perda No 2 Tahun 2021, sebagai pembenaran formal bahwa di kawasan wilayah Margorejo ini , adalah untuk kawasan hijau.
Lagi-lagi yang menjadi pertanyaan, kapan upaya penataan rencana tata ruang wilayah itu mulai dilakukan? Jangan-jangan, perda tersebut memang selamanya sebagai ”macan kertas.”