SAMIN-NEWS.com, DALAM kesempatan menunggu jam rapat koordinasi Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS) dengan pihak Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pati, Sabtu (25/Spetember) pekan lalu, komidian Mogol tetap mengharap banyak agar program tersebut terus berkelanjutan. Sebab, paling tidak, para seniman yang menangani program itu bisa membesut tontonan, utamanya ketoprak menjadi sebuah tuntunan, minimal bagi anak-anak pemainnya.
Hal tersebut, paparnya dalam permainan ketoprak tetap ada ”unggah-ungguh” yang tak bisa dihindari oleh setiap pemain, terutama ketika berlangsung dialog tentu dipilah-pilah. Paling tidak, jika dialog itu berlangsung antara pemegang peran muda dengan yang tua, tetap harus menghormati sehingga berbahasa bagi yang muda terhadap yang tua harus dilakukan.
Belum lagi kalau dalam adegan yang menggambarkan suasana kerajaan, maka antara kawula dan gusti juga sarat dengan ”unggah-ungguh” formal. Bahkan, saat duduk saja ada tata cara yang mengaturnya, sehingga anak-anak yang memainkan tontonan itu sesuai peran masing-masing, paling tidak sudah pernah melakukan ketentuan untuk menghormati antara yang muda terhadap yang tua maupun antara kawula dan rajanya.
Sebab, apa yang dilihat dan dirasakan selama ini, adalah berlangsungnya tatanan atau ”unggah-ungguh” tersebut nyaris punah terkikis yang namanya peradaban modern. ”Dampaknya, dari kalangan anak-anak sudah kehilangan penghormatan, atau minimal penghargaan terhadap orang lain yang dari lingkaran usia saja lebih tua,”ujarnya.
Karena itu, lanjut Mogol yang juga ”Bos” ketoprak terlaris selama ini, Wahyu Manggolo, dengan anak-anak diajak berlatih berkesenian, tentu akan berproses secara perlahan sampai menjadi pemahaman. Sebab, dalam berkesenian setiap individu tentu melalu proses mengolah rasa (kepekaan) kemudian memunculkan karsa (keinginan), dan akhirnya membuahkan hasil akhir adalah karya dalam berproses tersebut.
Pendek kata saat anak-anak menjadi bagian dari proses berkesenian ini, paling tidak secara tidak langsung harus melalui proses tersebut. Sehingga, harapan pihaknya dari hasil atau karya yang dihasilkan dalam proses tersebut anak-anak yang mempunyai kepekaan, minimal saat harus berhadapan dengan siapa saja tetap bisa mengutamakan sopan-santu sebagai bagian dari budaya dan adat ketimuran.
Mengingat kondisi tersebut, paling tidak anak-anak dalam belatih kesenian ketoprak ini mereka secara tidak langsung sudah diperkenalkan dengan tuntutan ”unggah-ungguh” itu. Apalagi, cerita yang dipilih untuk ditampilkan nanti pada pagelaran akhir pelaksanaan GSMS sekitar akhir Oktober mendatang, adalah Darpo-Kayun.
Cerita karangan tersebut, adalah berlatar belakang pada masa Kerajaan Singosari yang sebelum Ken Arok menjadi rajanya juga bernama Tumapel yang dipimpin seorang Akuwu (setingkat camat), Tunggulametung. ”Di sinilah pemaksaan kehendak terjadi antara kakak beradik Pangeran Darpo yang sudah mendapat bagian Kerajaan Singosari, masih memaksa adiknya Pangeran Kayun, untuk menyerahkan Tumapel,”imbuhnya.