SAMIN-NEWS.com, BAGI pihak yang mengendaki agar seluruh tempat prostitusi di Pati harus ditutup total, barangkali hal tersebut harapannya bisa segera dilaksanakan secara maksimal. Maksudnya, tidak ada upaya dari pihak yang bersangkutan untuk melakukan tawar menawar, dan penutupan tersebut sudah berlangsung sekitar satu bulan hingga sekarang.
Akan tetapi di balik semua itu, ternyata tidak akan berjalan mulus secara instan karena di sisi lain juga muncul reaksi tanggapan dari pihak yang merasa dirugikan, karena kehilangan satu-satunya pekerjaan yang selama ini menjadi sumber penghasilannya. Kelompok yang reaktif ini, adalah dari kalangan penghuni kompleks LI yang memang sudah berdiri sejak Tahun 1999.
Sedangkan reaksi yang ditunjukkan, adalah melakukan perlawanan hukum melalui Perlindungan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Wilayah Jawa Tengah. Bahkan belakangan muncul informasi yang perlu ditunggu sejauh mana kebenarannya, bahwa ada kelompok organisasi perempuan yang mulai menaruh simpati atas kondisi terakhir di LI juga hendak mendukungnya.
Dengan demikian, hal tersebut menandakan bahwa langkah yang saat ini diambil oleh Pemkab Pati tidak bisa berjalan mulus dan instan dalam menutup tempat prostitusi. Sehingga selamnya fakta membuktikan, bahwa penanganan permasalahan sosial yang sudah amat sangat akut karena adanya sudah boleh dibilang hampir sama dengan adanya kehidupan ini.
Karena itu, dalam upaya mewujudkan langkah penutupan tersebut khusus seperti di loklasi LI, Kampung Baru (KB) dan Ngemblok, semua di Desa/Kecamatan Margorejo, termasuk penutupan lokasi luar tembok Pasar Wage. Khusus yang disebut terakhir, seharusnya jangan hanya dibuka semata-mata untuk pasar hewan melainkan juga perlu ditopang dengan pasar umum, agar siapa saja lelaki yang hendak plesiran di tempat itu akan merasa jengah, banyak yang melihatnya.
Syaratnya, pagar sisi kanan pasar hewan tersebut jangan dari pasangan bata/tembok melain dari kawat berduri sehinga yang dari dalam bisa melihat, dan yang di luar pagar juga terlihat. Sehingga penangan masalah prostitusi ini memang tidak bisa secara instan, yaitu juga dijaga siang maupun malam tapi begitu penjagaan dilonggarkan praktek transaksi ”esek-esek” akan kembali terjadi.
Apalagi, jika berkait dengan surat dari Satpol PP Kabupaten Pati bahwa lokasi yang lahannya harus dikembalikan seperti semula hanyalah yang di LI. Sebab, lokasi tersebut sesuai perda menjadi pengambangan pertanian tanaman pangan berkelanjutan, maka KB, Ngemblok, dan Pasar Wage tidak harus mengembalikan lahan yang sekarang sudah menjadi tempat pendirian warung ”esek-esek” tidak perlu melakukan hal itu.
Padahal, antara LI dan KB, Ngemblok serta Pasar Wage berada dalam satu kawasan sehingga jika memang lokasi tersebut harus dikembalikan seperti semua karena akan dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian tanaman pangan berkelanjutan, tentu tidak hanya pada satu blok. Namanya saja kawasan, sehingga yang ada atau masuk dalam kawasan tersebut tentunya juga harus diberlakukan ketentuan sama.
Sebagaimana layaknya, ketika Pemkot Surabaya, Jawa Timur (Jatim) harus menutup kompleks prostitusi terbesar di Asia Tenggara, yaitu Gang Dolly, di Jl Kupang Gunung Timur atau Jarak dan Putat Jaya, Kota Surabaya.. Upaya tersebut juga tidak bisa secara instan, karena sejak dimulai dari Tahun 2014 berlangsung hingga 2016, dan peruntukan kawasan tersebut seluruhnhya sebagai pusat UMKM, termasuk pusat pelatihannya.
Bahkan untuk keperluan itu, banyak pemilik rumah dan bangunan di atasnya yang sengaja dijual murah, dan Pemerintah Kota Surabaya juga bersedia membelinya, meskipun tidak semuanya. Satu di antara bangunan di kompleks Gang Dolly yang dibeli kala itu senilai RP 9 miliar, adalah Wis Barbara karena berlantai enam yang dimanfaatkan untuk pusat pelatihan dan juga penjualan produk UMKM.
Bagaimana dengan LI? Sebab, lahan kepemilikan mereka sebagain besar sejak 2002 sudah bersertifikat.!!(