SAMIN-NEWS.com, PATI – Kaneman Kajen Jonggringan (Kanjengan), sebuah komunitas pemuda desa setempat berbincang dan berdiskusi membahas berbagai buku dengan latar Mbah Mutamakkin. Tak tanggung-tanggung, dalam bincang itu sebanyak 11 buku dibincangkan.
Sebagai informasi, bincang buku itu adalah dalam rangka memeriahkan Haul Waliyullah Syekh Ahmad Mutamakkin. Selain acara bincang buku, rangkaian ini terdiri dari peluncuran buku, kidungan manuskrip dan ngaji bareng di puncak acara.
Ketua panitia kegiatan, Ahmad Falih Nur Hidayat, mengatakan di tengah pandemi Covid-19, semua kegiatan itu dilaksanakan secara daring melalui kanal Youtube Kanjengan TV selama bulan Muharram.
“Sebanyak 11 buku yang diperbincangkan adalah karya-karya yang berkaitan dengan Mbah Mutamakkin atau pun Desa Kajen,” kata Falih.
Adapun dua buku yang diluncurkan adalah Kajian Artefak Masjid Kajen dan Riwayat serta Perjuangan Mbah Mutamakkin. Buku pertama berbahasa Arab, membedah makna simbolik ornamen Masjid Kajen yang kaya ajaran dan filosofi.
“Kemudian, satunya lagi cetakan ulang dari buku pertama yang membahas cerita tutur dari para sesepuh tentang Mbah Mutamakkin,” jelas Falih.
Di puncak acara, kata Falih, digelar kidungan Teks Pakem Kajen atau Suluk Alif. Setelah itu ada pengajian daring yang diisi oleh Gus Ulil Abshar Abdalla.
Sementara itu, koordinator Kanjengan Farid Abbad mengatakan, tema Festival Kajen ke-VII kali ini mengangkat tema “Sangkan Paraning Kajen: Ngaji, Ngajeni, Kajen”. Ini merupakan ikhtiar telaah bersama untuk mengetahui asal-usul serta tujuan hidup.
“Ini merupakan hasil kerja-kerja kebudayaan yang dilakukan oleh kaneman Kajen secara kontinyu.” terangnya.
“Kami telah melakukan penelusuran sejarah, mengumpulkan manuskrip, diskusi, kajian, dan sesekali anjangsana ke wilayah-wilayah yang ada kaitannya dengan jejak dakwah Mbah Mutamakkin,” ujar Wakil Pengasuh Ponpes Al-Roudloh Kajen ini.
Farid menjelaskan, ikhtiar tersebut sebagai bentuk komitmen Kanjengan untuk merawat dan terus melestarikan tradisi kampung halaman.
“Mbah Mutamakkin dan Desa Kajen meninggalkan banyak warisan. Sebagai ahli waris, ibarat diberi sebidang tanah, pilihannya ada dua. Tanah itu dijual, atau ditanami tumbuh-tumbuhan supaya ngrembaka dan lebih bermanfaat. Kanjengan memilih yang kedua,” ujar mahasiswa S2 Antropologi UI ini.
“Di puncak acara ngaji budaya Sangkan Paraning Kajen ini dibahas oleh Gus Ulil Abshar Abdalla pada Selasa (7/9) malam,” imbuhnya.