HARAPAN pasca ditutupnya kompleks pelacuran Lorong Indah (LI) di Desa/Kecamatan Margorejo dan juga tempat pelacaruran lainnya, tentu muncul keinginan sebagai tindak lanjut dari upaya penutupan tersebut. Yakni, pelaksanaan pengawasan dari yang berkompeten secara maksimal dan juga terus berkelanjutan sampai benar-benar, siapa saja tidak lagi berkeinginan datang secara terang-terangan ke lokasi tersebut.
Memang benar, sampai saat ini atau paling setelah duapuluh hari dilaksanakannya penutupan tersebut, memang jajaran personel petugas, di antaranya dari Satpol PP setempat masih tampak berpatroli, utamanya ke kompleks Lorong Indah (LI). Selain itu, di kompleks tersebut juga masih dilakukan penjagaan selama 24 jam dari pagi kembali ke pagi pukul 08.00.
Karena itu, banyak pula yang mempertanyakan, upaya tersebut akan mampu berlangsung dan bertahan sampai kapan, mengingat lokasi yang dijaga memang suasananya datar-datar atau landai-landai saja. Dengan kata lain, dalam melaksanakan penjagaan petugas tidak harus menghadapi hal-hal yang membutuhkan kewaspadaan ekstra, seperti menjaga suatu lokasi yang sedang berkonflik.
Dengan demikian, dalam menghadapi kondisi tersebut suatu saat dirasakan memunculkan hal-hal yang tidak efektif yang kemudian penentu kebijakan mengambil langkah. Apalagi, jika tidak diberhentikannya pelaksanaan penjagaan dan juga patroli di kawasan lokasi LI, dan bila itu terjadi maka bisa dipastikan akan muncul kondisi permainan kucing-kucingan, untuk memanfaatkan kembali lokasi saluran ”pembuang limbah” di kompleks tersebut.
Mengingat hal tersebut, maka alternatif pemikiran yang harus dikembangkan pihak berkompeten adalah memberlakukan patroli dan penjagaan di lokasi itu, minimal satu tahun. Atau paling tidak sampai berakhirnya masa jabatan dua periode masa pemerintahan Bupati Haryanto, yaitu sampai 7 Agustus tahun depan (2020), sehingga bagi yang bersangkutan bisa dicatat sebagai Bupati yang dengan tegas menutup keberadaan tempat prostitusi.
Jika penutupan hanya dua atau sampai tiga bulan maupun paling lama setengah tahun, hal itu bisa disebut sebagai hal kepalang basah. Sedangkan bila perlu, pengambilan keputusan paling maksimal dan frontal dalam penangan masalah LI dan tempat pelacuran lainnya, yaitu semua tempat atau lokasi bekas maksiat ini sekaligus di alokasikan anggaran sebesar-besarnya.
Pertanyaannya, tentu untuk keperluan apa? Ya, tegas saja lokasi lahan dan berdirinya tempat warung remang-remang itu dibeli sekalian, sehingga tidak ada istilah diberikan ganti untung kepad pemiliknya. Asal dengan harga pembelian umum, maka para pemilik pasti akan bersedia diajak negosiasi untuk melepasnya, sehingga jika hal itu disesuai dengan Perda No 5 Tahun 2011 yang diubah dalam Perda No 2 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), lahan itu tetap akan ada manfaatnya.
Sepanjang penganggarannya bisa dipertanggungjawabkan dengan jelas dan transparan, tentu tidak ada koridor hukum yang di langgar. Apalagi, jika dari Jalur Lingkar Selatan (JLS) Pati dibuatkan jalur alternatif lewat di lokasi bekas LI menuju ke jalan raya Pati-Kudus maupun sebaliknya, hal itu bisa menopang perwujudan penataan ruang kawasan itu sebagai kawasan hijau, sehingga lokasi bekas LI yang sudah dibeli oleh Pemkab bisa dimanfaatkan untuk lokasi Embung Wisata.
Apalagi, jika dalam merumuskan konsep kawasan hijau tentu bukanlah harga mati bahwa di lokasi itu tidak boleh berdiri bangunan apa pun, hal itu tentu pemikiran yang tidak maju. Sehingga gagasan embung wisata tersebut juga bisa dipadu dengan kawasan perumahan yang terinteraksi dengan embung tersebut , asal jangan terinteraksi dengan kawasan pabrik mengingat Margorejo sudah terdapat industri yang padat modal.
Kembali berkait upaya menggagas pembelian lahan bekas lokasi LI, belum apa-apa argumentasinya adalah tidak bisa dan akan berbenturan aturan. Akan tetapi jika aturan yang dijadikan acuan adalah ”Pembentengan Moral Generasi Muda”, karena Kementrian Pemuda dan Olahraga maupun Dinasnya di tingkat kabupaten juga ada, maka secara kelembagaan tentu ada sandaran hukumnya, maka hal itu kata kuncinya ada kemauan dan maksud baik.
Sebab, kondisi klise yang terus berulang dan berulang, selama ini adalah bahwa generasi muda hanyalah ada pada slogan. Yakni, bahwa generasi muda adalah masa depan harapan bangsa, tapi media tempat berekspresinya serba terbatas, maka kementrian dan dinas yang menangani pun menjadi Kementrian Pemuda dan Olahraga.
Padahal, pemuda dengan berbagai latar belakang sebagai generasi harapan bukanlah hanya butuh olahraga, tapi juga butuh media untuk berekspresi lainnya. Semisal, adalah lokasi wisata kawasan hijau sebagai tempat penggemblengan diri, lengkap dengan sarana penunjangnya sehingga bukan hanya digantungkan kepada pendidikan formal semata.
Jika hal itu dengan memusatkan berbagai kegitan di luar olahraga, di bekas lokasi kompleks pelacuran LI. Memang apa salahnya??