SAMIN-NEWS.com, DARI bagian catatan pembimbing dan pendamping dalam ”workshop” penulisan naskah cerita ketoprak, Bondan Nusantara dari Yogyakarta mempertegas bahwa kegiatan Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS) membawa dampak signifikan. Yakni, bagi pengembangan para seniman ketoprak tobong di Pati yang ternyata bisa masuk di hampir semua sendi kehidupan masyarakat.
Di tengah-tengah gerakan yang secara jujur memang dimotori mantan Kepala Bidang (Kabid) Kebudayaan Dinas Pendidikan Kabupaten Pati, Paryanto, pernah terlontar pula dari kalangan seniman setempat. Yakni, setelah GSMS sudah semestinya jika dari jajaran kalangan lintas sektoral lainnya perlu menggagas pula program Gerakan Seniman Masuk Desa (GSMD) sebagai penjamaran konkrit dari diberlakukannya UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Munculnya gagasan itu bukan berarti para seniman/seniwati maupun para budayawan ”legan cari momongan,” tapi justru merupakan bentuk tanggung jawab bersama jika desa-desa ke depan juga menjadi sasaran upaya pemajuan kebudayaan. Sebab, jumlah desa itu mencapai ribuan karena di Kabupaten Pati saja terdapat 401 desa yang tersebar di 21 kecamatan, sehingga desa-desa tersebut bisa sebagai tindak lanjut dari program GSMS.
Dengan demikian, langkah awalnya bisa dimulai di desa-desa yang mempunyai garapan program sebagai Desa Wisata, seperti di Desa Budaya, Kertomulyo, Kecamatan Trangkil. Apalagi, dalam hal ini pihak Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) DI Yogyakarta juga ikut serta menaruh perhatian pada upaya pemajuan kebudayaan di Pati.
Atas keterlibatan dan peran lembaga ini, maka secara resmi sudah ada penetapan dua kekayaan warisan budaya tak benda, yaitu Wayang Topeng Dukuh Kedungpanjang, Desa Soneyan, Kecamatan Margoyoso, Pati. Sedangkan yang satu lagi, adalah Batik Bakaran, Juwana, sehingga hal tersebut seharusnya menjadi pendorong pihak yang berkompeten di Pati, untuk lebih melirik dan memperhatikan kebudayaan di Pati.
Sebab, dari sisi kesenian sudah menjadi garapan para seniman dalam program GSM yang hasilnya jelas tampak nyata, seperti ratusan anak-anak usia SD maupun SMP di Pati sudah bisa menabuh gamelan. Sedangkan yang lainnya juga sudah mengenal, dan bahkan ikut memainkan seni pertunjukan kesenian tradisional ketoprak, sehingga para orang tua tentu menyimpan kebanggaan tersendiri karena putra-putrinya bisa melakukan hal yang tidak banyak bisa dilakukan oleh anak-anak lain sebayanya.
Bukti dari kebanggaan tersebut, bahkan sudah ada satu desa yang anak-anak murid SD di desa itu menjadi sasaran program pembelajaran GSMS, kelompok kesenian ketopraknya sudah mendapat tiga order tanggapan untuk main. Ketiganya, tentu anak-anak yang kemarin ikut bergabung dan tiba saatnya untuk dikhitan.
Sedangkan masih SD yang muridnya ikut program pembelajaran sama, kalangan orang tuanya justru siap untuk menghimpun pengumpulan dana. Tujuannya, tak lain agar anak-anaknya bisa kembali bermain ketoprak yang digelar di desa sendiri, sehingga warga setempat bisa melihatnya secara langsung, karena saat main dalam GSMS para orang tua ini tidak bisa melihat tampilan putra-putrinya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan mengajak putra-putrinya bermain seni pertunjukan ketoprak, ternyata para orang tua ini juga tertarik sehingga sudah semestinya jika kesenian ini bisa menjadi benteng pemajuan kebudayaan di Pati. Karena itu, sebagaimana catatan Bondan Nusantara, bahwa ketoprak tobong di Pati itu mempunyai fleksibelitas, adalah tidak salah karena bisa masuk hampir semua sendi kehidupan masyarakat.
Karena itu, kalangan seniman ketoprak yang saat sudah cukup umur dan selama ini malang melintang dari tobong satu ke tobong lain, perlu dipikirkan para penggantinya yang sekarang masih duduk di bangku SD maupun SMP. Akan tetapi, para orang tua tentu tidak berharap kelak putra-putrinya akan menjadi pemain ketoprak, melainkan menjadi kebanggaan tersendiri jika mereka bisa bermain ketoprak.
Apalagi, di Pati juga banyak pejabat yang bukan pemain ketoprak tapi bisa memainkan pertunjukan kesenian ketoprak. Itulah sebenarnya dari esensi sebenarnya, bahwa ketoprak juga bisa menjadi benteng pemajuan kebudayaan, karena anak-anak hingga orang dewasa dari masyarakat biasa sampai kalangan pejabat bisa memainkannya.