SAMIN-NEWS.com, Kebijakan Indonesia terkait transisi energi fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT) adalah komitmen pemerintah mendorong zero karbon pada tahun 2060. Biaya untuk transisi ke energi baru terbarukan ini disebutkan jumlahnya ratusan triliun, sungguh nilai yang fantastis.
Tingginya biaya yang dibutuhkan ini, sebab listrik yang diproduksi dari energi fosil masih lebih murah daripada EBT membuat ongkos transisi bertambah. Namun demikian, Presiden Joko Widodo mengaku biaya tambahan itu tidak dibebankan kepada negara.
Selain memberikan biaya tambahan tidak dibebankan kepada keuangan negara, Jokowi mengaku jika dipaksa, negara tidak mampu membiayai biaya yang sangat besar.
“Negara tidak akan mampu menombok ratusan triliun untuk transisi energi ini dan dia pun tidak menginginkan ini dibebankan ke rakyat dengan menaikkan tarif listrik,” katanya saat membuka The 10th Indonesia EBTKE ConEx 2021 di Istana Presiden, Jakarta, dikutip CNBC Senin (22/11/2021).
Transisi energi dari fosil ke EBT itu, pihaknya mengatakan seperti dimulai dari menghentikan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sebesar 5,52 Giga Watt (GW) hingga 2030 dan secara bertahap dikurangi hingga akhirnya kurang dari 1 GW pada 2057 mendatang.
Maka, di tahun 2060 benar-benar tidak menggunakan bahan fosil. Telah beralih ke energi terbarukan. Terkait dengan penghentian operasional PLTU, hal ini juga telah dibicarakan di tingkat internasional pada saat pertemuan konferensi tingkat tinggi di Glasgow beberapa waktu lalu.
Baik itu menyangkut segi transisi teknis, maupun dukungan pembiayaan dari investor di dalam proyek transisi ke energi baru terbarukan tersebut. “Sudah bicara dengan World Bank, dengan investor dari Inggris juga kita waktu Glasgow pertanyaannya pasti ke sana siapa yang menanggung,” ujarnya
Menurutnya, ini menjadi pekerjaan rumah besar di dalam melakukan transisi energi. Tema ini, persoalan biaya besar transisi energi nantinya akan diulang lagi pada G20 ahun depan di Bali.