SAMIN-NEWS.com, MEMASUKI kompleks Lorong Indah (LI), baik di pagi, siang, sore dan malam hari suasana senyap sudah menjadi bagian kondisi belakangan ini, karena situasi memang tidak sehingar-bingar dulu lagi. Karena itu, setelah tempat kegiatan usaha prostitusi tersebut ditutup ada yang menggagas sebuah ide ”gila,” dan bahkan ”aeng-aeng” agar tempat ini diubah menjadi sebuah pusat Pondok Pesantren di Kabupaten Pati.
Dari beberapa pendapat yang dihimpun, alasannya sederhana –moralitas–, sehingga kalau memang berani juga jangan kepalang tanggung dan hanya bicara, sehingga bagi yang merespons gagasan itu segera menindaklanjutinya. Hal tersebut bisa dari kalangan kiai, santri, maupun para dermawan yang dari satu sisi memang mempunyai kelebihan, termasuk harta benda miliknya yang bisa diwakafkan untuk mendirikan pusat ponpes itu.
Sebab, untuk mewujudkan gagasan ”ngayawara” tersebut yang kali pertama harus disiapkan tak lain memang lahan cukup luas, dan itu hanya bisa didapat dengan cara membeli lahan milik para penghuni kompleks tersebut. Jika hanya bergantung pada harapan, maksimal ada di antara mereka yang mewakafkan harta bendanya itu, tentu ibarat pungguk merindukan bulan.
Dengan demikian, satu-satunya harus ada himpunan dana dari banyak pihak yang mempunyai komitmen demi selamatnya moralitas banyak manusia yang ketimbang kembali terperosok di lembah ini. Sehingga hanya ada satu jalan jihat, adalah membeli aset lahan dan bangunan milik mereka sebagai salah satu modal awal untuk menghapus prostitusi terbesar di Pati ini.
Di sisi lain, pihak pemerintah kabupaten setempat agar tidak dinilai kepalang basah dalam melakukan penutupan tempat tersebut, tentunya bersama jajaran legislatifnya juga sepaham. Yakni, untuk menutup dan mengubah tempat prostitusi menjadi pusat Ponpes di Pati, tentu harus benar-benar disadari memang membutuhkan biaya cukup besar.
Dengan kata lain, hal tersebut tidak hanya cukup jika hanya menggunakan pendekatan kekuasaan, tapi harus benar-benar menunda kepentingan yang tidak mendesak dalam satu atau dua tahun anggaran, untuk memenuhi gagasan ”ngayawara” itu. Kendati ada yang memunculkan pendapat demikian, akan tetapi pihak yang berkompeten atau notabene pemerintahan Kabupaten Pati ini mengambil langkah nyata, dan tidak hanya retorika.
Hal tersebut sekalian sebagai ajang ”kompetisi,” siapa yang paling besar perhatiannya untuk menyumbangkan harta benda miliknya demi selamatnya moralitas banyak orang. Dengan mengubah tempat tersebut menjadi pusat pondok pesantren, tentu akan banyak relawan yang ikut tergabung di dalamnya, paling tidak bisa ikut membantu mengajar kepada anak-anak yang nanti akan menjadi penghuninya.
Sekali lagi, karena namanya gagasan ”gila,” tentu konsekuensinya akan banyak juga di antara warga yang menolaknya, karena kalau urusan moral adalah urusan masing-masing. Akan tetapi, dengan bisa diwujudkannya gagasan tersebut, bisa dipastikan bahwa di Pati tak layak lagi muncul sebuah kegiatan usaha yang disebut –prostitusi–. Tunggu apa lagi??