SAMIN-NEWS.com, PATI – Meskipun hanya sekadar memungut dan memilah sampah yang berada di Tempat Pembuangan Sementara (TPS), tapi tidak semua orang bersedia melakukannya kecuali yang memang sudah terbiasa menjadi pemulung. Kendati lebih leluasa bisa memilah sampah, tapi yang terjadi sebenarnya tidak demikian.
Salah seorang pemulung kawakan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sukoharjo, Kecamatan Margoirejo, Sukro, mengungkapkan hal tersebut mengingat selama ini sebelum sampah dari rumah tangga di angkut ke TPS, terlebih dahulu sudah dikuasai atau dipilah sejak dari rumah tangga. Sedangkan pemilahanya tak adalah anggota bank sampah di desa/keluarahan dari mana sampah-sampah tersebut berasal.
Hal itu juga masih akan dipilah lagi oleh para pengangkut sampah dari rumah tangga, tapi sayangnya pemilahan yang terjadi di tiap tingkatan tersebut hanya dipilih sampah-sampah yang mempunyai nilai jual maksimal. ”Sampah-sampah dimaksud tak lain yang berupa kardus dan pecehan ember plastik, atau juga potongan besi yang tentu masuk katagori sampah nonorganik,”ujarnya.
Lebih tidak menarik lagi bagi pemulung, sampah yang dibuang ke TPS sebagian besar sudah berupa sampah-sampah organik yang bercampuraduk dengan sampah-sampah plastik. Karena itu, sampah yang harus masuk ke TPA sebenarnya tinggal sampah-sampah nonorganik jenis plastik, dan nilai jualnya sangat rendah.
Dengan demikian menyangkut nilai tersebut pemulung di TPA juga sudah kalah bersaing dengan para pemilah sampah yang masuk ke bank sampah. Padahal, sampah warga itu bila dibawa ke bank sampah nilainya juga lebih rendah bila dibanding dengan sampah yang dijual bebas oleh para pemulung, di mana harganya sedikit lebih mahal.
Dampak dari itu, pemulung sebenarnya enggan memungut sampai nonorganik jenis plastik kecuali nanti harga jualnya lebih tinggi dari harga jenis sampah pilahan warga yang dibawa ke bank sampah. ”Lagi pula, jika semua jenis sampah plastik laku dijual maka di Pati harus didirikan pabrik pengolah sampah plastik yang besar,”imbuhnya.