SAMIN-NEWS.com, SERINGKALI yang menjadi persoalan lebih tepatnya yang menimbulkan jarak antara karya seni, seniman/peripa, dan penikmat/penonton, adalah dalam membaca teks. (Dalam hal ini patung-patung karya Dwik Tunggak, merupakan kumpulanteks) yang sebenarnya bisa dicermati melalui ”modus penyampaian” dan ”modus penafsiran.”
Dalam modus penyampaian, Dwik Tunggak tampaknya berusaha menghidupkan berbagai bentuk dan model patung bergaya totem-purba. Karena itu, secara sekilas dapat dibaca sebagai teks yang berkisah tentang peradaban primitif, dan Tunggak sendiri menyebut gaya karya patingnya adalah ”primitif.”
Imajinasi yang terungkap, bahwa Tunggak secara spontanitas, lugas tapi impresif sehingga menghasilkan tampilan patung yang lebih menitikberatkan pada ”kesan” maupun karakter masing-masing patung tersebut. Sebagian besar memiliki kemiripan dalam menggambarkan figur atau tubuh, tapi jika diperhatiakan kemiripan utama itu terletak pada dua hal.
Masing-masing, adalah mata dan mulut sehingga di benak Tunggak, mata bukanlah sekadar untuk ”melihat dengan cara terbuka.” Melihat seakan-akan lebih jelas, dan terang dengan cara setengah tertutup atau setengah terpejam.
Sementara mulut dibentuk antara berkata-kata dan diam, sehingga tidak sepenuhnya berbicara, tak ada pula membisu. Penampakan itu bisa jadi merupakan ekspresi pribadi atau pesan yang ingin disampaikan kepada khalayak publik, bahwa tanpa berkata-kata sebuah pesan lebih dapat ditangkap. Karena itu, Tunggak sepertinya menangkap ”pesan dari masa silam” yang diwujudkannya pada konteks kekinian.
Sedangkan dalam modus penafsiran, menanggapi wacana ”primitif”, pada benak serta bayangan manusia modern memaknai istilah itu secara peyoratif alias hina dan bernilai rendah. Primitif identik dengan ”belum beradab,” tidak mengenal aturan dan ”etika” atau ”liar”, dan bahkan dicap ”biadab.”
Dengan demikian, makna primitif seperti itu mesti diredifinisi, diubah dan dimaknai kembali, karena primitif itu berasal dari kata lain ”primus” yang artinya ”yang utama,” ”yang pertama,” ” yang awal.” Menjadi ”prime” yang mengacu pada ”yang utama”, sehingga memiliki nilai istimewa.
Mengikuti pendekatan etimologis ini, maka primitif bukan yang tidak beradab atau tidak mengenal aturan, melainkan justru merupakan nilai peradaban awal dan utama yang dibangun secara sadar oleh manusia. Dalam primitif, suara alam-alam dan semesta mampu diharmonisasikan dengan ritual serta kesadaran spiritual manusia.
Sebab, air, api, udara, tanah, jiwa-jiwa anima, pohon, ruh-ruh menjadi unsur peradaban primitif yang bukan hanya menyatu, tapi nuga dihormati dan diperlakukan sebagai bagian dari kosmos kecil sang manusia. Sehingga memandang karya dalam gaya primitif dari patung-patung Tunggak, membawa kita pada imajinasi masa lalu melalui pintu masa kini.
Selain itu, kita pun berpetualang ke belakang, meng-hayat-i (menghidupkan) kembali karakter yang ”ringkas,” ”sendiri,” ”kuat,” ”putri.” ”ruh,” dan lain-lain. Tunggak menjelmakan kembali kesan peradaban utama itu, menjadi semacam ”neoprimitivisme”.
Cara berdialog lewat potongan-potongan kesan ini akan membentuk rangkaian-rangkaian yang utuh. Cara pandang neoprimitivisme berpeluang menemukan kembali nilai-nilai utama dan pertama dari peradaban. Bukankah kita adalah penerus dari yang premitif itu? Bukankah yang premitif itu tidak pernah keluar dari tubuh – jiwa kita?
Mengomentari atau menafsirkan para patung itu tampaknya lebih tepat dengan cara mengemukakan kesan semacam cara berimpresionis. Impresionisme tidak melulu berada di seni rupa, tapi juga dikhasanah susastra, karena secara spontan melemparkan kesan-kesan yang muncul. Sering kali membayang sekilas, dan meninggalkan jejak-jejak imajiner.
Dengan cara itu pula, karya-karya patung ”primitif” Dwik Tunggak dapat dibaca serta dirasakan. Sejauh kesan itu berkelana di seputar para patung, penggalan-penggalan imajinasi tampil; singkat dan sekejap.
Melalui proses semacam itu pula, Tunggak ”menggebuk” setiap kayu jati di depannya. Dia memilih kayu jati yang berkualitas agar tahan dari gempuran cuaca dan waktu. Tunggak seolah-olah tidak berpikir untuk mendesaian bentuk patung itu. Dia mengikuti maunya patung yang ada di dalam kayu.
Patung-patung itu tak lagi menjadi berhala yang dipuja dan diistimewakan, karena ruhnya masih menetap. Akan tetapi ”berhala”- ”berhala” itu diusirnya secara paksa, sehingga setiap patung menjadi simbol dari jiwa dan mental manusia modern. Menyembunyikan watak yang tidak diharapkan atau yang bertentangan/paradok di masing-masing jiwa; kepongahan, kesombongan, kesedihan, kesendirian juga kemarahan serta kesebaran.
Di sinilah Tunggak ”meluar batas”; melampaui dan melompati waktu kini kembali ke masa lalu, mengembalikan primitif yang sekarang, menghidupkan kembali karakter primitif itu untuk menjadi cermin, serta simbol jiwa manusia, dan melihat manusia di luar batas aturan yang mereka buat. Akan tetapi Tunggak tetap mamahat, tetap mencari kayu-kayu.
Selain itu, Tunggak tetap menyiapkan pahat dan palu. Tetap menciderai hidup dengan petualangan, juga kesendiriannya. Jika patung-patung itu memang mewakili durinya, itu berarti juga mewakili kita semua; sebagai manusia.
Selamat ”meluar batas” bagi Dwik Tunggak dan kita bersama. Meluar biasa untuk menemukan tapal batas diri di jalan dunia tak terbatas ini. Tabik. Salam.
(M Iskak Wijaya- budayawan di Jepara.)