SAMIN-NEWS.com, PATI – Peruntungan lebih suku Tionghoa saat berlangsungnya Tahun Baru Imlek dari kacamata Koordinator Gusdurian Pati, KH Happy Irianto, karena kuatnya penghargaan terhadap tradisi budaya para leluhurnya. Sehingga hal tersebut sama saja, mereka benar-benar menunjukkan baktinya seorang anak terhadap para orang tua/sesepuhnya.
Bahkan, paparnya, penghargaan dan bakti terhadap para leluhur suku bangsa Tionghoa, termasuk para keturunannya yang patah tumbu hilang berganti, ternyata diyakini bahwa hal itu sebagai jalan lapang sebagai bangsa yang berbudaya. Di antaranya, adalah cukup kuat dalam menjunjung dan menghargai tradisi para leluhur yang masih terus berlanjut hingga sekarang.
Salah satu di antaranya yang selama ini tumbuh dan berkembang hingga sekarang, adalah budaya menyongsong dan menyambut datangnnya Tahun Baru Imlek, di mana di Tahun 2022 ini adalah sudah memasuki Tahun 2573. Hal itu bisa dicermati lebih seksama, karena tiap tahun bersama Koordinator Gusdurian lainnya, Eddy Siswanto selalu menyelanggarakan penyambutan tahun baru yang berpegang pada Astrologi China, atau lazim disebut sebagai ”Shio.”
Sampai sekarang ”Shio” sebagai bagian dari budaya Tionghoa tersebut masih dipercaya oleh etnis itu, dan tetap dihormati dan dijunjung tinggi. ”Lagipula budaya tersebut tentu sudah berinteraksi dengan budaya lokal, di mana budaya itu juga mewarnai bagian dunia lainnya, di mana salah satu contoh adalam bentuk makanan sebagai persembahan,”ujarnya.
Maksudnya, lanjut KH Happy Irianto, hal itu tak beda jauh dengan etnis Jawa yang juga mengenal makanan sebagai persembahan, tapi kadang-kadang salah menyebutnya sebagai sesaji. Hal tersebut jelas jelas berbeda konteksnya dengan makanan persembahan, karena untuk makanan ini setelah didoakan kemudian dikembalikan atau dihidangkan kembali agar bisa dimakan dan dinikmati oleh siapa saja.
Berkait hal tersebut, etnis Jawa juga punya budaya makanan persembahan yang pemberiannya kembali untuk dinikmati, bentuknya adalah ”berkatan.” Makanan persembahan ini juga dibagi-bagikan untuk dimakan tentu setelah dibaca dan dipanjatkan doa, sehingga makan itu benar-benar barokah , sehingga tidak benar jika ada yang beranggapan bahwa makanan yang dibagikan setelah dipanjatkan doa itu disebut makanan untuk sesaji.
Kendati ”disajikan” kembali untuk dimakan bersama-sama, hal tersebut bukanlahlah makanan untuk sesaji. Hal itulah yang selama ini dijunjung tinggi oleh etnis keturunan tersebut, karena hal itu memang sudah menjadi budaya secara turun temurun dari para leleluhurnya sehingga berkah atau peruntungan itu pun berlangsung setiap tahun sebagai peruntungan baru.
Demikian pula, budaya tersebut juga sudah membaur dengan budaya lokal, salah satu contohnya adalah makaman persembahan dari etnis ini juga sudah ada lauk dengan ikan bandeng, di mana dari negeri asal budaya tersebut, ikan bandeng itu tentu tidak ada. ”Karena itu, etnis keturunan ini mempunyai tradisi cukup kuat dalam menghargai, dan menjunjung tinggi budaya leluhurnya,”imbuh KH Hapy Irianto.