SAMIN-NEWS.com, NENEK moyang kita secara turun temurun dalam bercocok tanam padi selalu mengejarkan para petani, tentang bagaimana mengusir serangan hama burung saat tanaman padi tersebut mulai berbulir sampai menjelang panen. Sebab, saat-saat tanaman padi dalam tahapan umur ini, yang bersiap untuk berpesta memangsanya selain burung kecil jenis pipit biasanya juga burung manyar.
Beruntung sudah dalam kurun waktu lebih dari sepuluh tahun terakhir, burung yang berkicaunya meriah karena berlangsung bersama-sama ini, sudah musnah dari habitanya. Musnahnya burung tersebut juga karena ulah kita yang memberikan toleransi pada perusakan lingkungan karena tak terkendalinya penggunaan pestisida, dan juga penjaringan burung tersebut untuk dijual ketengan dengan dicat warna-warni.
Terlepas dari hal tersebut, nenek moyang kita dalam mengusir burung pemakan padi juga selelau memperhatikan teknik lokasi sederhana yang ramah. Yakni, dengan membentang rentang tali berderet dengan jarak tertentu memenuhi luas areal persawahan, dan pusat dari seluruh bentangan tali tersebut ada di gubuk/dangau.
Dari bentangan tali itu, biasanya dipasang orang-orangan atau keprak dari bambu yang bila ditarik tali yang terpasang akan menimbulkan suara gemontang, karena beradunya potongan bambu yang juga banyak terdapat di tengah areal persawahan yang terdapat tanaman padi. Kadang-kadang, selain bambu juga dipasang pula kaleng-kaleng bekas yang bila ditarik tali dari pusatnya pun memunculkan suara ribut.
Hal tersebut tentu berbeda jauh dengan gaya dan cara yang dilakukan Harnoto, seorang petani kreatif yang juga pegiat seni, warga Desa Sidomukti, Kecamatan Margoyoso. Saat ini di areal persawahannya seluas 1,8 hektar seluruhnya tengah ditanami padi merah organik, dan saat ini tengah berbulir sehingga kondisi tersebut tentu mengundang burung-burung pipit untuk menyerangnya.
Ternyata, petani yang juga pemakai air limbah tapioka yang terdapat di desanya ini, sudah sepuluh tahun mempunyai cara mengusir burung pemangsa tanaman padi miliknya. Ia pun meninggalkan cara-cara tradisional dengan membentangkan banyak tali, untuk dipasangi ”orang-orangan” agar membuat takut para burung.
Akan tetapi, ia sendiri secara jujur mengakui bahwa cara mengusir burung sebagaimana diajarkan nenek moyang kita secara turun menurun, hal itu seperti menyulap areal persawahan menjadi arena pementasan sebuah pertunjukan teater. Mengingat cara tersebut dinilai sudah tidak efektif, maka ia pun mengganti cara mengusir hama burung tersebut dengan teknologi baru.
Mudahnya untuk bisa membeli sebuah megaphonen yang bisa mengeluarkan suara lantang dengan dorongan batu baterai, maka kelengkapan itulah yang selama ini digunakan dengan memencet tombol sirine-nya, maka meraunglah bunyi suara yang memekakkan telinga. ”Untuk membedakan suara lain, kami juga sering menekan mike-nya dan bersuara, dan ini kali lakukan sampai menyeluruh di tengah areal tanaman padi merah organik ini,”imbuhnya.