SAMIN-NEWS.com, KUDUS – Pasal penghinaan yang akan disahkan awal Juli 2022 oleh Pemerintah dan DPR dalam bentuk Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tersebut, menuai banyak komentar miring oleh sebagian orang.
RKUHP tersebut juga banyak dikritik akibat berisi ancaman bagi masyarakat dan elemen lainnya. Hal itu membuat wartawan Samin News berinisiatif menghubungi kontak WhatsApp dari Ketua Ketua DEMA IAIN Kabupaten Kudus, Zulham sapaan akrabnya untuk meminta tanggapannya.
Menurut Ketua DEMA IAIN Kabupaten Kudus, RKUHP yang akan disahkan nantinya tidak relevan dan sangat tumpang tindih. “Menurut saya mengenai RKUHP pasal penghinaan pejabat publik ini sangat tidak relevan atau cenderung tumpang tindih dengan undang-undang,” ujar Zulham saat dihubungi wartawan Samin News melalui WhatsApp (19/6/2022).
Pasal tersebut juga di kawatirkan akan menghalangi kebebasan berpendapat bagi setiap manusia, terutama bagi mahasiswa yang kritis sekali menjaga demokrasi di Indonesia. Dan hal tersebut harus sangat diperhatikan oleh Pemerintah dan DPR sebagai penyalur aspirasi rakyat.”Hal ini harusnya diperhatikan agar tidak adanya absolutisme hukum mendiskriminasi masyarakat,” ucapnya.
Dirinya juga mengemukakan bahwa, pasal tersebut memiliki dampak yang nyata bagi mahasiswa dan masyarakat, khususnya mahasiswa yang merupakan partner kritis pemerintah serta mengkontrol dan menyuarakan aspirasi masyarakat.
“Hal tersebut sangat berdampak bagi mahasiswa dan juga masyarakat, lebih kita sebagai mahasiswa yang memiliki organisasi kemahasiswaan yang merupakan partner kritis pemerintah untuk mengkontrol dan menyuarakan aspirasi guna kemajuan dan kemaslahatan masyarakat,” terangnya.
Bukan hanya itu Zulham juga menyebut, pasal tersebut akan memukul mundur demokrasi jika RKUHP teralisasi. Ia sebagai mahasiswa sangat menyoroti dengan adanya RKUHP pasal 273 tentang unjuk rasa. “Pasal tersebut mengatakan bahwa orang/sekelompok orang yang melakukan unjuk rasa, pawai tanpa pemberitahuan akan di pidana paling lama 1 tahun,”
Lanjut dia, mengatakan, tentunya hal ini bertolak belakang dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 1998. “Yang melakukan unjuk rasa tanpa pemberitahuan akan di beri sanksi administratif berupa dibubarkan, dan keresahan lainnya,”
Kemudian dirinya menambahkan, yaitu tentang pasal 353 yang harusnya di beri penjelasan lebih lanjut mengenai kata kerusuhan agar tak ada generalisasi interpretasi hukum.
Dalam penyampaian terakhirnya, ia sebagai mahasiswa memberi saran kepada Pemerintah dan DPR. “Seharusnya jangan terlalu tegesa dalam membentuk Undang-Undang, harus memperhatikan beberapa aspek agar dalam pelaksanaannya tidak ada kecacatan hukum,” pungkas Ketua DEMA IAIN Kabupaten Kudus, Zulham.
Penulis
Adam Naufaldo